Suatu ketika Jundab bin Zuhair mendatangi Rasulullah SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, kami sesungguhnya beramal karena mengharapkan ridha Allah, lalu kami dipuji dan dikagumi orang. Sungguh, aku shalat lalu mengerjakannya dengan lama, karena aku mengharapkan pujian orang.” Lantas Nabi SAW bersabda: “Allah SWT sesungguhnya berfirman (dalam hadits qudsi):
« إن الله تعالى يقول : أنا خير شريك فمن شاركني في عمل يعمله لي أحداً من خلقي تركته وذلك الشريك »
“Aku adalah sebaik-baik sekutu (tempat meminta pertolongan). Barangsiapa yang mempersekutukan Aku – dalam amalan yang dikerjakannya demi Aku – dengan salah satu makhluk ciptaanKu, niscaya Aku meninggalkannya dan sekutunya itu.”
Sehubungan dengan kasus itulah turun ayat 110 surat Al Kahfi:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Katakanlah: Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (Q.S. Al Kahfi: 110)
Maka ayat di atas dibacakan oleh Rasulullah SAW (lihat Tafsir Ibnu ‘Abdis Salam/ Juz III/ halaman 357)
Menurut versi lain, ayat diatas diturunkan sehubungan dengan kasus seorang laki-laki yang berkata: “Wahai Nabi Allah! Aku ini tabah dalam pertempuran karena mengharapkan ridha Allah dan aku ingin supaya terlihat kedudukanku oleh orang lain!” Rasulullah SAW tidak menjawab sedikitpun, sehingga turun ayat 110 surat Al Kahfi tersebut. (Ad Durr al Mantsur/ Juz Vi/ halaman 430)
NILAI SUATU AMAL
Dari ayat yang kita kutip sebelumnya, maka jelaslah bagi kita tentang nilai suatu amal di sisi Allah SWT hendaklah dilandasi oleh keikhlasan; berbuat semata-mata karena mengharapkan ridha Allah SWT. Jika seseorang melakukan suatu amal karena mengharapkan ridha Allah, serta mengharapkan pujian dari orang lain, maka amalan demikian tidak dapat disebut ikhlas, yang tentu saja tertolak di sisi Allah.
Jadi, jelaslah bagi kita bahwa hakikat Ikhlas adalah; bersihnya suatu amal dari niat atau motivasi apapun, atau tujuan apapun selain hanya karena mengharapkan ridha Allah. Seperti digambarkan oleh Imam Al Ghazali, tentang firman Allah:
وَإِنَّ لَكُمْ فِي الأَنْعَامِ لَعِبْرَةً نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهِ مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا سَائِغًا لِلشَّارِبِينَ
“Dan Sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya”. (QS. An Nahl: 66)
Di sini dinyatakan bahwa; Susu yang khalis (bersih) adalah susu yang sama sekali tidak bercampur dengan tahi dan darah. (Ihyak ‘Ulumid Din/ Juz IV/ hal 379)
Maka, marilah kita semua wahai saudaraku! Untuk senantiasa beramal dengan memelihara hati dari segala niat apapun… selain hanya dan hanya… karena mengharapkan ridha Allah semata!
Salam ikhlas!